Oleh Stefani Krista
Simbol palang (salib) sudah akrab sekali dengan umat Kristen. Itu tak mengherankan sebab umat Kristen beriman kepada Yesus Kristus, Juruselamat yang mengorbankan diri di kayu palang demi keselamatan manusia. Maka palang kita saksikan menjadi simbol penting kekristenan, dan umat Kristen dari berbagai waktu dan tempat telah “mengolah” secara kreatif beberapa macam bentuk palang. Satu contohnya yang tergolong beken di dunia adalah Palang Kelt.
Muncul di tengah masyarakat Kelt di Irlandia, Palang Kelt memiliki bentuk khas berupa perpaduan antara wujud palang yang lazim kita kenal (yakni “Palang Latin”) dengan wujud lingkaran. Lingkaran itu terletak di pusat palang—titik pusatnya sejajar dengan titik pertemuan sumbu batang palang yang tegak dan mendatar.1
Orang Kelt amat bangga dengan palang khas mereka itu. Sejak abad ke-8 hingga ke-10 Palang Kelt berbahan batu banyak didirikan di Inggris Utara, Irlandia, dan Skotlandia. Palang ini dipakai sebagai “penanda tempat-tempat pemakaman, biara-biara, tempat-tempat misa di luar ruangan, dan persimpangan-persimpangan jalan yang penting.”2 Di zaman moderen kita bisa juga melihatnya dalam bentuk perhiasan, nisan di kubur orang (keturunan) Irlandia, atau gambar cetakan pada kaus dan cangkir.
Menurut legenda populer di Irlandia, Palang Kelt merunut asal-usulnya kepada Patrick, “rasul Irlandia” asal Britania. Sewaktu muda Patrick pernah ditawan di Irlandia, dan setelah dibebaskan ia kembali lagi ke sana untuk menyiarkan Injil. Ia memadukan Palang Latin dengan lingkaran simbol matahari yang sakral bagi orang Kelt. Dengan berbuat demikian, “Patrick tidak melemahkan iman Kristen; sebaliknya ia mengontekstualkan Injil …”3—ia mempribumikan kekristenan!
Hasilnya memiliki makna yang luhur-hebat. Palang adalah lambang pengorbanan Kristus. Lingkaran adalah lambang matahari, pemberi kehidupan. Dengan demikian, Palang Kelt memaklumkan “Kristus sebagai pusat, yang memegang segala kepenuhan Hidup dan Ciptaan.”4 Pempribumian yang mantap!
Ya, Kristus memang ibarat matahari pemberi kehidupan. Itulah sebabnya Alkitab menyerukan, “Bangunlah, hai kamu yang tidur dan bangkitlah dari antara orang mati dan Kristus akan bercahaya atas kamu” (Ef. 5:14). Kematian Kristus pada hari Jumat dan kebangkitan-Nya pada hari Minggu memberi hidup kepada siapa pun yang mau bertobat—bangun dari tidur dan bangkit dari antara orang mati—serta beriman kepada-Nya. Itulah makna Jumat Agung dan Paskah bagi umat Kristen.
Dan hidup akibat pertobatan dan iman itu dimaksudkan untuk berbuat baik. “Karena kita ini buatan Allah,” tandas Rasul Paulus, “diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya” (Ef. 2:10). Pekerjaan/perbuatan baik tentu sangat luas, mencakup berdakwah, menolong sesama, membuat alat dan barang, merancang sistem-sistem, memerangi “kegelapan” (korupsi, penindasan, kejahatan, penipuan, dsb.) di tengah masyarakat, dan lain-lain.
Kita melakukannya, sesuai dengan kapasitas dan panggilan masing-masing, lantaran hidup yang diberikan Kristus. Kita ingin mengisi hidup itu dengan hal-hal baik yang menyukakan Allah serta mendatangkan kebaikan kepada sesama dan ciptaan Allah lainnya. Palang Kelt menyiratkan semua ini secara gemilang.
Sebagai bentuk pempribumian, Palang Kelt mengajari kita di Indonesia untuk memikirkan pula wujud-wujud kekristenan yang “membumi.” Suatu Palang Toraja, misalnya, bisa saja diciptakan. Motif bulatan matahari khas Toraja, pa’barre allo, yang juga menggambarkan matahari sebagai pemberi kehidupan,5 bisa saja dipadukan dengan wujud palang sehingga menjadi “pesaing” Palang Kelt dalam hal makna dan keindahan. Palang Toraja macam itu pastilah sangat artistik!
Ya, Kristus yang ibarat matahari pemberi kehidupan memang sosok pusat yang (harus) diwartakan semua palang kristiani. Oleh kematian dan kebangkitan-Nya kita hidup dan berdaya untuk melakukan segala pekerjaan baik. Sebagaimana Ia menerangi kegelapan, “[d]emikianlah hendaknya terang [kita] bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatan [kita] yang baik dan memuliakan Bapa [kita] yang di sorga” (Mat. 5:16).
.
Stefani adalah seorang karyawan swasta yang tinggal di Rengat, Riau.
.
Catatan
1 Lihat Janet Hodgson. Making the Sign of the Cross: A Creative Resource for Seasonal Worship, Retreats and Quiet Days. London: Canterburry Press Norwich, 2010, hal. 31-35.
2 Judith Couchman. The Mystery of the Cross: Bringing Ancient Christian Images to Life. Downers Groove, IL: InterVarsity Press, 2010, hal. 112-113.
3 Tri Robinson dan Jason Chatraw. Saving God’s Green Earth: Rediscovering the Church’s Responsibility to Environmental Stewardship. Norcross, GA: Ampelon Publishing, 2006, hal. 36.
4 Fr Leonard Holland. An Introduction to the Celtic Orthodox Church. Marshwood, Dorset: Lamorna Publications, 2014, hal. 20.
5 Lihat “Arti dan Makna Ukiran” dalam blog Tondokku. <http://kampoeng-heber.blogspot.com/2011/08/arti-dan-makna-ukiran.html>.