Palang Jorjia

Oleh S.P. Tumanggor

Jvari vasiza—palang/salib pokok-anggur. Inilah palang unik yang identik dengan bangsa Jorjia1 sehingga tenar pula dengan nama “Palang Jorjia.” Tegak sebagai simbol Gereja Ortodoks Jorjia dan simbol kekristenan Jorjia, palang pokok-anggur bertutur tentang suatu pempribumian kekristenan yang rancak. Dan seperti semua palang Kristen, Palang Jorjia mewartakan kasih Sang Kristus yang berkorban bagi umat manusia—kasih yang (harus) menggerakkan kita, para pengikut-Nya, untuk berkarya baik di dunia.

Keunikan Palang Jorjia terungkap lewat wujudnya dan pertaliannya dengan sejarah bangsa Jorjia. Orang Jorjia menghuni negeri subur di kawasan Kaukasus, Eropa Timur, yang sejak purbakala beken sebagai penghasil anggur.2 Tak heran jika sebuah palang pokok-anggur turut berperan dalam pengkristenan bangsa yang tergolong paling awal memeluk agama Kristen ini.

Tradisi mengisahkan bagaimana Nino, perempuan saleh asal Kapadokia, menyerantakan Injil di negeri Jorjia pada paruh pertama abad keempat Masehi.3 Ketika itu ia membawa sebuah palang yang dibuat dari jalinan cabang anggur, yang batang tegak dan mendatarnya dikebat dengan rambutnya.4 Wujud palang ini unik lantaran batang mendatarnya di kiri-kanan terkulai ke bawah, tidak tegak lurus terhadap batang tegaknya.5 Di masa kini simbol yang mirip dengannya adalah simbol “perdamaian” yang digunakan kelompok Greenpeace.

Tindakan orang Jorjia memungut palang unik itu sebagai palang bangsa mereka berbicara banyak tentang baiknya, dan perlunya, kekristenan dipribumikan dalam budaya orang-orang yang menerimanya. Pempribumian akan menjadikan budaya mereka khas dalam koridor kekristenan sambil memantapkan, bukan menggusur, identitas budaya mereka.

Pokok anggur sendiri merupakan titik temu yang hebat antara kejorjiaan dengan kekristenan. Tanaman kebanggaan dan kesukaan warga Jorjia itu, kita tahu, punya pelambangan kuat dalam Alkitab—istimewanya dalam kaitan dengan Kristus. Pada makan malam terakhir bersama murid-murid-Nya, Kristus mengedarkan cawan berisi air anggur seraya berkata, “Minumlah, kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa” (Mat. 26:27).

Air anggur melambangkan darah Kristus. Oleh darah-Nya, yang tumpah dalam pengorbanan akbar di hari Jumat Agung, kita diselamatkan dari hukuman ilahi dan dikhususkan menjadi “umat, kepunyaan-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik” (Tit. 2:14). Inilah yang jelas-jelas tertulis dalam Alkitab! Berbuat baik—dalam hal dan bidang apa pun—adalah buah keselamatan kristiani, dan kita memperoleh daya untuk mengerjakannya lewat keterhubungan kita dengan Kristus.

Itu menggiring kita kembali kepada pokok anggur sebagai pelambangan Kristus. “Akulah pokok anggur,” ujar Kristus, “dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh. 15:4-5). Dan di dunia, di tengah masyarakat, “buah banyak” itu adalah rupa-rupa perbuatan baik melalui ibadah dan dakwah, penegakan keadilan, pengentasan kemiskinan, penguasaan iptek, dsb.

Sungguh bagus pelambangan jvari vasiza—palang pokok-anggur!

Demikianlah Palang Jorjia menjulang di bumi sambil terus mengimbau kita untuk memikirkan “air anggur” pengorbanan Kristus serta “buah banyak” berupa perbuatan baik yang harus kita hasilkan sebagai akibat mengimani Kristus. Buah kita bukanlah untuk umat Kristen dalam lingkup gerejawi belaka, tapi juga untuk masyarakat luas dalam berbagai bidang kehidupan.

Dan Palang Jorjia juga mengimbau kita untuk memikirkan pempribumian kekristenan dalam budaya kita. Sebuah Palang Papua, misalnya, bisa saja digubah di Indonesia dengan bubuhan motif yoniki. Motif khas Sentani ini melambangkan keagungan seorang raja6 sehingga tepat digunakan untuk Kristus, Raja yang berkorban bagi umat manusia, yang keagungan-dalam-derita-Nya memicu doa penyamun yang terpalang di sisi-Nya: “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja” (Luk. 23:42).

Dan Raja yang berkorban itu merindu kebersamaan dalam kemuliaan kelak dengan para pengikut-Nya yang taat, tekun, dan tuntas berkarya baik di dunia. Kata-kata kerinduan-Nya dari makan malam terakhir di Yerusalem itu masih bergaung hingga kini: “Aku tidak akan minum lagi hasil pokok anggur ini sampai pada hari Aku meminumnya, yaitu yang baru, bersama-sama dengan kamu dalam Kerajaan Bapa-Ku” (Mat. 26:29).7

. 

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 Secara internasional (dalam bahasa Inggris): Georgia. Nama ini sering dianggap berasal dari nama St. George, tentara dan martir Kristen asal Palestina, padahal sebetulnya berasal dari nama Kurj atau Gurj, sebutan untuk orang Jorjia dalam bahasa Arab atau Persia. Orang Jorjia sendiri menyebut diri mereka orang Kartvelebi. Lihat Frederik Coene. The Caucasus: An Introduction. New York, NY: Routledge, 2010, hal. 59.

2 Bangsa Jorjia punya klaim kuat bahwa negeri mereka adalah tempat kelahiran minuman anggur. Ada 35 varietas resmi anggur di negeri Jorjia—kebanyakan merupakan anggur lokal. Lihat Eyewitness Companions: Wines of the World: Your Essential Handbook. London: DK, 2004, hal. 633.

3 J. Gordon Melton. Faith Across Time: 5,000 Years of Religious History. Santa Barbara, California: ABC-CLIO, LLC, 2014, hal. 382-383.

4 Tradisi mengisahkan pula bahwa Nino menerima palang itu secara ajaib dari Maria, ibu Yesus Kristus, yang menampakkan diri kepadanya. Lihat, misalnya, “St Nino (Nina), Equal of the Apostles and Enlightener of Georgia” dalam situs Orthodox Church in America. <http://oca.org/saints/lives/2000/01/14/100191-st-nino-nina-equal-of-the-apostles-and-enlightener-of-georgia>.

5 Sebuah palang pokok-anggur yang dianggap dibuat oleh Nino sekarang disimpan di Katedral Sioni di Tbilisi, ibukota Jorjia. Pada tahun 2010 majalah TIME menabalkannya sebagai satu dari sepuluh besar relik agama di dunia. Lihat Kayla Webley. “The Grapevine Cross” dalam situs TIME. <http://content.time.com/time/specials/packages/article/0,28804,1983194_1983193_1983131,00.html>.

6 “Kampung Asei, Penghasil Lukisan Kulit Kayu Dunia” dalam situs Tempo. <http://www.tempo.co/read/news/2014/09/12/202606329/Kampung-Asei-Penghasil-Lukisan-Kulit-Kayu-Dunia/1/1>.

7 Barangkali bentuk palang pokok-anggur yang seperti tanda panah mengarah ke atas itu boleh kita maknai menunjuk kepada saat kebersamaan dalam kemuliaan dengan Kristus.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *