Oleh S.P. Tumanggor
Kekeluargaan. Di telinga orang Indonesia pada umumnya kata itu terdengar syahdu sekali—malah mungkin nyaris “sakral.” Ketika mendengarnya terbayanglah budaya keakraban yang membentuk kita jadi bangsa peramah, bertenggang rasa, bergotong royong, dan sederet gambaran baik lainnya. Tak heran Sukarno, proklamator kemerdekaan Indonesia, menyatakan gotong royong—salah satu wujud budaya kekeluargaan—sebagai jiwa bangsa Indonesia.1
Gagasan kebersamaan yang karib dalam budaya kekeluargaan tentu saja tidak salah, telah dan masih selalu nyata dalam hidup bangsa Indonesia, dan menunjukkan betapa baiknya budaya kekeluargaan itu. Namun, seperti banyak hal baik di dunia, budaya kekeluargaan pun bisa menimbulkan efek negatif ketika disalahgunakan dan disalahsikapi. Salah satu efek negatif itu, yang mudarat bagi perkembangan bangsa, adalah terkuburnya keunikan dan prakarsa individu.
Sebagaimana kita maklumi, budaya kekeluargaan lebih mementingkan kebersamaan daripada keindividuan. Pada tempatnya, ini baik-baik saja, tapi bisa jadi buruk sewaktu kebersamaan memaksakan atau mendiktekan keseragaman. Juga, demi harmoni yang dipandang penting bagi iklim kebersamaan, sikap terus terang menyatakan pendapat yang berbeda sering kali dicabarkan, khususnya di hadapan orang yang lebih tua.
Di situlah keunikan terkubur. Saat kebersamaan memaksa kita untuk jadi seragam, mental peniru tertempa di hati kita. Inilah yang membuat karya-karya orisinal susah dikembangkan atau bahkan digubah di Indonesia. Mental peniru, yang selalu merasa didesak kepada keseragaman, mendorong kita menuruti saja apa yang sudah ada—tradisi, pola, karya cipta, gagasan—tanpa berani membuat sesuatu yang berbeda.
Selanjutnya, pencabaran keterusterangan membiakkan sikap “asal bapak senang,” belat-belit, sukar menerima kritik, bahkan tidak jujur/kesatria. Semuanya kontra dengan apa pun yang baik di balik ide keunikan individu. Kasus-kasus korupsi yang terpergoki menggerogoti negara kita banyak sekali bersinggungan dengan sikap-sikap itu. Terlatih bersikap belat-belit dan tidak jujur/kesatria, koruptor bisa berkelit, bersilat lidah, tidak mau mengaku salah meski sudah tertangkap basah.
Dan prakarsa jelas ikut terkubur bersama keunikan. Tuntutan keseragaman dan harmoni melemahkan kita berinisiatif dalam ini-itu. Alih-alih jadi penggagas dan perintis, kita malah merasa aman dan nyaman jadi pelaksana atau operator saja. Terbitlah mental jongos atau mental budak, yang membuat Pramoedya Ananta Toer meratap, “Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain.”2
Itu masih disokong pula oleh kewajiban takzim kepada senior. Sebetulnya kewajiban ini patut dan wajar, tapi bisa jadi tak patut dan tak wajar kala prakarsa rubuh-patah oleh sikap ewuh pakewuh terhadap orang yang lebih tua.3 Kita geleng-geleng kepala menyaksikan calon-calon presiden atau ketua partai yang senior dan itu-itu lagi. Tapi mungkin kita abai akan pangkal masalahnya, yakni budaya kekeluargaan yang kita sikapi secara keliru.
Demikianlah budaya kekeluargaan punya efek negatif mengubur keunikan dan prakarsa individu, dua hal yang sangat bisa bersumbangan besar bagi masyarakat, bangsa, dan dunia. Jika kita ingin maju dan berkembang, efek negatif itu harus kita tanggulangi.
Caranya adalah dengan membangun iklim kekeluargaan yang menggali, mengayomi, mengembangkan keunikan dan prakarsa individu di tengah keluarga, sekolah, dan lingkungan kebersamaan lainnya. Dalam iklim yang demikian, para senior (orang tua, guru, dll.) meleluasakan para junior berpikir dan berpendapat, mengoreksi/mengarahkan/berargumen dengan mereka secara bersahabat, mendorong dan mendukung prakarsa baik mereka, meyakinkan bahwa mereka unik dibuat Sang Pencipta dan bahwa bakat-bakat mereka adalah penyemarak dunia.
Kita pun dapat mempelajari, memetik, menerapkan hal-hal positif dari budaya keindividuan Barat untuk menggerus/mengimbangi hal-hal negatif dari budaya kekeluargaan kita—sebagaimana orang Barat dapat mempelajari, memetik, menerapkan hal-hal positif dari budaya kekeluargaan kita untuk menggerus/mengimbangi hal-hal negatif dari budaya keindividuan mereka. Ya, pada hakikatnya, masalahnya memang bukan tentang kekeluargaan atau keindividuan, tapi tentang menanggulangi efek negatif dari keduanya sambil merangkul keduanya secara proporsional.
Jika itu kita lakukan, kita dapat memiliki budaya kekeluargaan yang menghargai, bukan menggilas, keunikan dan prakarsa individu. Dari budaya itu kita akan menyaksikan bangkitnya individu-individu unik dan penuh prakarsa yang karya-karya baiknya mengharumkan nama bangsa di dunia.
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Sukarno. “Pelajarilah Geopolitik untuk Memperkokoh Pertahanan” dalam Bung Karno: Masalah Pertahanan-Keamanan/Penyunting: Iman Toto K. Rahardjo dan Suko Sudarso. Jakarta: Grasindo dan Founding Father House, 2010, hal. 365.
2 Dikutip dari pengantar untuk buku Pramoedya Ananta Toer. Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Jakarta: Lentera Dipantara, 2005, hal. 5.
Reblogged this on Dia, Generasi ini, dan Indonesia and commented:
Ini!!
Pingback: Bumerang Budaya Kekeluargaan | Komunitas Ubi