Inilah Kasih Itu

Oleh Bunga Siagian

“Saya, X, menerima Y sebagai pasangan untuk saling mengasihi dalam suka maupun duka, sehat ataupun sakit, kaya ataupun miskin …”

Kata-kata ikrar pernikahan itu kedengaran indah, bukan? Tetapi coba bayangkan jika yang menyatakannya di depan altar adalah saudara perempuan kita dan pasangannya yang perempuan juga. Atas nama kasih, pernikahan mereka dianggap wajar hari ini di belahan dunia tertentu. Anggapan wajar itu disahihkan dengan dukungan teori bahwa perbuatan mereka tercakup dalam hak dasar manusia.

Bagi dunia, inilah kasih itu.

Ya, di dunia hari ini, kasih sering berarti menolerir segala hal. Dengan kasih yang dimaknai demikian, sudut pandang dunia dalam melihat dosa pun berubah 180 derajat. Perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh semua agama kini dihalalalkan dunia, misalnya seks bebas dan perkawinan sejenis. Dunia memaknai kasih sedemikian rupa dengan menjadikan manusia tuhan bagi dirinya sendiri. Tetapi benarkah inilah kasih itu?

Kalau menurut Alkitab, sejatinya “inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1 Yoh. 4:10). Kita, umat Kristen, memperingati “kasih itu” dalam peristiwa Natal: Yesus, Anak Allah, lahir di dunia untuk mendamaikan kita, manusia berdosa, dengan Allah yang mahasuci.

Pendamaian ini menjadikan Natal bukan melulu tentang kasih, tetapi juga tentang keadilan. Kita tahu bahwa keadilan selalu identik dengan hukum (aturan, larangan) dan hukuman (sanksi). Jika ada pelanggaran hukum, maka harus ada hukuman. Jadi, sudah sepatutnya Allah Yang Mahaadil menjatuhkan hukuman atas pelanggaran—dosa—manusia. Hukuman itu berupa keterpisahan dari Allah, kebinasaan, dan kutuk atas bumi (yang Allah percayakan kepada manusia) sehingga ada bencana alam, sakit penyakit, dll.

Dunia sering menggugat: “Kalau Allah adalah kasih, mengapa ada penderitaan, sakit penyakit, bencana di bumi?” Jawabannya: karena Allah juga adil dan Ia telah menjatuhkan hukuman atas pelanggaran manusia terhadap hukum-Nya. Seperti orang tua yang baik tetap menghukum anaknya ketika sang anak bersalah, demikianlah Allah juga mengungkapkan kebaikan-Nya dalam sikap/tindakan tidak menolerir dosa dan menghukum dosa. Bedanya, hukuman Allah dapat merentang kepada kebinasaan kekal.

Namun, inilah kasih itu: Allah memberi kita jalan keluar dari hukuman kebinasaan kekal dengan “mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian.” Kristus menanggung hukuman kita sehingga tuntutan keadilan ilahi digenapi dan kita didamaikan dengan Allah. Dan inilah lagi kasih itu: Allah memberi kita kabar baik bahwa kutuk atas bumi akan sirna sempurna saat Kristus datang untuk kedua kalinya. Dengan demikian, Natal mengungkapkan kasih sekaligus keadilan ilahi.

Sayangnya, persandingan kasih ilahi dan keadilan ilahi itu langka dibahas umat Kristen. Akibatnya, kasih ala dunialah yang menyeruak, bahkan bisa menjadi tren, di masa kini. Mimbar gereja dan persekutuan Kristen, corong-corong media Kristen, sering kali tidak mampu menarik garis tegas antara kasih ala dunia dan kasih ala Alkitab yang bersanding dengan keadilan itu. Tak ayal banyak orang Kristen mengatasnamakan kasih untuk tetap hidup serampangan dan melanggar hukum Allah.

Sebagai contoh, pejabat Kristen yang rajin korupsi atau pengusaha Kristen yang tidak jujur membayar pajak bisa hadir di gereja setiap minggu dengan perasaan enteng saja terhadap kesalahannya karena berpikir bahwa kasih Allah cukup besar bagi dirinya. Lalu ada pula ajaran hiperanugerah yang menyatakan bahwa seluruh dosa kita, di masa lalu, masa kini, dan masa mendatang, sudah dibereskan Kristus di kayu salib sehingga kita tidak perlu lagi mengakui dosa dan bertobat.1 Ajaran macam ini sungguh melecehkan hukum dan keadilan Allah.

Seyogianyalah kita senantiasa berpegang pada pemahaman yang berimbang dan alkitabiah tentang kasih dan keadilan ilahi. Secara khusus, perayaan dan sukacita Natal seyogianya mencerminkan rasa syukur kita atas makna utuh pendamaian yang dikerjakan Kristus—pendamaian yang menunjukkan bahwa Allah memang mengasihi kita tetapi tidak mengabaikan keadilan-Nya sendiri.

Ya, inilah kasih itu.

.

Bunga Siagian adalah seorang pengacara publik yang bermukim di DKI Jakarta.

.

Catatan

1 Penjelasan lebih lanjut tentang hiperanugerah (Ing.: hyper-grace) dapat dilihat, misalnya, di artikel “What  Is Hyper-Grace?” dalam situs got Question? <http://www.gotquestions.org/hyper-grace.html>.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *