Oleh Victor Samuel
Di seluruh dunia, agaknya tidak ada hari besar agama semeriah Natal. Orang non-Kristen pun tak jarang turut merayakan semaraknya. Di Indonesia, mal-mal sering memasang pohon Natal besar-besar dan dekorasi Natal lainnya pada bulan Desember, padahal pengunjungnya mayoritas non-Kristen. Kasir dan pramusaji non-Kristen pun memakai topi Sinterklas.
Itu mungkin terjadi karena Natal sering disimbolkan dengan hal-hal yang dipandang menyenangkan dan/atau netral secara agama, seperti Sinterklas, salju, kado, dan pohon. Mungkin juga itu terjadi karena pada hari Natal, orang-orang merayakan “kasih,” sebagaimana tertulis: “Karena begitu besar kasih Allah sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal …” (Yoh 3:16a). Ateis sekalipun menyukai konsep “kasih,” bukan?
Namun, Natal bukan melulu tentang kasih. Natal juga menyingkapkan kebinasaaan manusia akibat dosa. Yesus lahir “supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3:16b). Natal terjadi dalam sejarah dengan sebuah latar belakang yang suram: Allah yang adil akan membinasakan semua manusia berdosa.
Jadi, merayakan kasih Allah semata pada masa Natal, tetapi mengesampingkan keadilan-Nya, pada hakikatnya menjinakkan Natal. Dan menjinakkan Natal—salah satu titik fokal iman Kristen—berarti menjinakkan kekristenan. Akibatnya, lahirlah kekristenan jinak, yang secara berlebihan mengobral kasih, bahkan kepada dosa. Kekristenan jinak ini berdampak buruk kepada berbagai lapisan kehidupan orang Kristen.
Dalam lapisan teologis-apologetis, misalnya, kekristenan jinak menjadi senjata makan tuan yang dimanfaatkan kaum ateis-agnostis. Mereka berargumen, “Jika Allah memang kasih, mengapa masih ada penderitaan?” Kekristenan jinak kesulitan menjawab pertanyaan ini karena hanya fasih mewartakan kasih Allah tapi gagap menerangkan keadilan Allah dalam penderitaan dan kebinasaan manusia.
Dalam lapisan kesalehan pribadi, kekristenan jinak membuat kita lupa bahwa tadinya kita harus binasa. Kita jadi memandang enteng kasih Allah. Keselamatan seolah-olah sudah sewajarnya kita miliki. Ajaran Kristen “keselamatan hanya karena anugerah”1 disalahgunakan sebagai tameng pembenaran untuk hidup seenaknya.
Dalam lapisan hubungan sosial, kekristenan jinak membuat kita terlampau membolehkan perilaku berdosa. Demi “kasih,” kita enggan menegur dosa sesama kita, padahal dalam keberdosaannya mereka bisa saja binasa. Kita takut dianggap “menghakimi.” Tak heran, gereja-gereja di dunia Barat—penjunjung tinggi kebebasan manusia—membolehkan pasangan sejenis menikah.
Mimbar-mimbar gereja turut menjinakkan kekristenan. Pengkhotbah-pengkhotbah makin jarang menegur dosa sekeras dan setulus Jonathan Edwards dengan khotbah seperti “Pendosa-pendosa di Tangan Allah yang Murka.”2 Banyak pendeta megagereja zaman sekarang—terlepas dari hal-hal benar dan baik yang mereka ajarkan—justru bergaya “motivator” dengan topik-topik yang sedap didengar semua orang seperti “Rahasia Sukses Tanpa Upaya” atau “Allah Ingin Anda Kaya.”
Tetapi kekristenan jinak tidak digagas oleh Yesus Kristus.
Yesus, perwujudan tertinggi kasih Allah itu, memang sering digambarkan sebagai sosok yang lembut, murah hati, dan mudah berbelaskasihan. Tetapi Yesus juga sosok yang menjungkirbalikkan lapak-lapak pedagang di Bait Allah dengan penuh murka (Luk. 19:45), mencela pemuka-pemuka agama yang munafik (Mat. 23:13-33), dan menyebut murid terdekat-Nya sendiri sebagai iblis karena berusaha menghalangi misi-Nya (Mat. 16:23).
Yesus, Raja Damai itu, berkata, “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang. Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya …” (Mat. 10:34-35).
Yesus tidak jinak. Meski mengasihi orang berdosa, Ia terlalu adil dan kudus untuk mengobral kasih dan mendiamkan dosa. Di sinilah sebetulnya letak keagungan sejati Natal. Yesus yang adil dan kudus itu justru rela lahir di dunia untuk dibinasakan dan ditimpa murka Allah sebagai ganti kita yang najis.
Seandainya Yesus jinak terhadap dosa, Ia tidak berbeda dengan orang berdosa: sama-sama pantas binasa karena gagal memenuhi standar keadilan dan kekudusan Allah. Yesus yang demikian tak layak menjadi juruselamat. Kelahiran-Nya pun tak perlu dirayakan.
Maka Natal—dan kekristenan—sejati bukan melulu tentang kasih. Mari bangkitkan kembali kekristenan yang (juga) adil dan kudus. Berhentilah menjinakkannya.
.
Victor Samuel adalah seorang insinyur di bidang energi yang bermukim di DKI Jakarta.
.
Catatan
1 Ajaran ini tersebar dalam Alkitab, salah satunya di Efesus 2:8-9, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu jangan ada orang yang memegahkan diri.”
2 Dalam bahasa aslinya, khotbah ini berjudul Sinners in the Hands of an Angry God. Berlawanan dengan pendeta-pendeta “motivator,” Edwards menyampaikan khotbah ini dengan gaya yang cenderung membosankan. Intonasinya datar dan matanya terpaku pada naskah. Namun, bahkan sebelum ia selesai berkhotbah, banyak hadirin dilawat Roh Kudus sehingga meraung-raung dan berteriak, “Apa yang harus aku lakukan untuk selamat?” Khotbah tersebut bisa dilihat di situs University of Nebraska – Lincoln. <http://digitalcommons.unl.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1053&context=etas>.