Penjor untuk Raja Damai

Oleh Rina Saragih

Ketika bulan Desember tiba, nuansa Natal pun mulai terasa di beberapa desa Bali yang kebanyakan warganya menganut agama Kristen.1 Umat Kristen setempat mulai menderetkan penjor di sepanjang jalan.2 Tiang bambu berhias janur, hasil bumi, dan kain putih itu adalah warisan budaya yang selalu digunakan sebagai salah satu kelengkapan upacara agama di Bali. Penjor melambangkan keselamatan dan kesejahteraan serta menjadi tanda ungkapan syukur atas kemakmuran yang diberikan Tuhan kepada manusia.3

Itulah sebabnya umat Kristen Bali turut menggunakan warisan budaya penjor dalam bernatal. Mereka melihat maknanya kena-mengena dengan kelahiran Yesus Kristus sebagai juruselamat dunia yang membuka jalan keselamatan, kesejahteraan, dan kemakmuran—jalan damai sejahtera. Mereka pun menjadikannya lambang ungkapan syukur kepada Tuhan atas semua itu.

Hal serupa kita dapati pula dalam kisah Natal di Alkitab. Kita membaca bagaimana orang-orang Majus datang ke Yerusalem dan bertanya-tanya tentang raja Israel yang baru dilahirkan. Mereka “telah melihat bintang-Nya di Timur” dan “datang untuk menyembah Dia” (Mat. 2:2). Ketika akhirnya mereka bertemu dengan kanak-kanak Yesus di Betlehem, mereka segera mempersembahkan emas, kemenyan, dan mur (Mat. 2:11)—identik dengan hasil bumi pada penjor. Mereka mensyukuri keselamatan, kesejahteraan, dan kemakmuran yang dibawa sang raja.

Kita juga ingat bagaimana warga Yerusalem mengelu-elukan Yesus pada akhir masa pelayanan-Nya di bumi. Mereka menghamparkan pakaian di jalanan dan melambai-lambaikan daun palem sambil berseru, “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel!” (Yoh. 12:12-13; Mat. 21:8-9). Di sini hamparan pakaian dan daun palem bisa disejajarkan dengan kain dan janur yang melambai-lambai pada penjor Natal. Semuanya mengelu-elukan Kristus sebagai raja yang, ketika datang kembali kelak, akan menggelar keselamatan, kesejahteraan, dan kemakmuran sempurna di dunia.

Ketika datang pertama kali dalam peristiwa Natal di Betlehem, Yesus membereskan masalah putusnya hubungan Tuhan dan manusia karena dosa di pihak manusia. Dosa inilah yang merusak damai sejahtera di bumi. Yesus, Firman yang menjadi manusia, mati menanggung hukuman dosa lalu bangkit kembali mengalahkan kematian dan naik ke surga. Dari sana Ia akan datang kembali untuk mewujudkan damai sejahtera total bagi seluruh ciptaan. Itulah sebabnya kita mengelu-elukan Dia sebagai “Raja Damai,” sesuai dengan nubuat di Yesaya 9:6.

Jadi, segala penjor Natal—sama seperti segala hamparan pakaian, daun palem, emas, kemenyan, mur—adalah untuk Sang Raja Damai, untuk merayakan sosok-Nya sebagai pembawa damai sejahtera sejati. Sungguh indah, bukan, bahwa warisan budaya Nusantara dapat bermanfaat untuk menyemarakkan sukacita di masa raya Natal serta menyimbolkan iman dan pengharapan kepada Kristus?

Seperti umat Kristen Bali dengan penjornya, umat Kristen dari suku-suku lain juga tentunya dapat mengangkat warisan budayanya masing-masing untuk memeriahkan Natal. Mengapa harus menggunakan warisan budaya bangsa lain (Barat khususnya) jika warisan budaya sendiri pun dapat menyemarakkan Natal secara lebih khas dan istimewa? Ketika kabar baik tentang Raja Damai dirayakan sesuai dengan konteks suatu budaya, iman kepada Tuhan akan semakin berakar dalam budaya itu.

Namun, penggunaan warisan budaya dalam merayakan Natal hendaknya bukan sekadar bertujuan mengejar nuansa khas dan istimewa. Lebih dari itu, penggunaannya haruslah benar-benar mencerminkan meriahnya hati kita dalam memperingati kelahiran Sang Raja Damai. Sesungguhnya sukacita sejati perayaan Natal terletak pada pemahaman kita tentang tujuan Kristus datang ke dunia. Warisan budaya seperti penjor membantu memperkaya sukacita itu.

Maka sebagaimana penjor menghias jalanan desa-desa berwarga Kristen di Bali, demikianlah ucapan syukur atas Sang Juruselamat menghias hati kita. Sebagaimana penjor melambai-lambai oleh angin, demikianlah hati kita beria-ria oleh Roh Kudus ketika memperingati kedatangan Kristus. Kiranya deretan penjor terus berdiri dalam perayaan Natal untuk mengawal pengharapan kita akan keselamatan, kesejahteraan, dan kemakmuran sempurna yang kelak mewujud di dunia ketika Raja Damai datang kembali.

.

Rina Saragih adalah seorang pegawai negeri sipil yang bermukim di Pamatang Raya, Sumatera Utara.

.

Catatan

1 Desa-desa itu misalnya Desa Dalung, Desa Blimbingsari, dan Desa Palasari.

2 Lihat, misalnya, I Gede Wira Suryantala. “Melongok Natal Berbalut Nuansa Hindu” dalam situs Antara News. <http://www.antaranews.com/berita/411386/melongok-natal-berbalut-nuansa-hindu>; Esti Utami. “Penjor Ramaikan Perayaan Natal di Bali” dalam situs Suara. < http://www.suara.com/news/2015/12/25/100542/penjor-ramaikan-perayaan-natal-di-bali>.

3 Lihat “Penjor” dalam blog Sejarah Hari Raya dan Upacara Yadnya di Bali. <https://sejarahharirayahindu.blogspot.co.id/2011/01/penjor.html>.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *