Sengsara dalam Selubung Jubah Ungu

Oleh S.P. Tumanggor

 

Di kanan belakang, seorang tentara Romawi berkumis-janggut dan bertombak mengawasi. Di kiri belakang, seorang barbar hendak memasangkan jubah ungu. Di depan, seorang berbusana Eropa abad pertengahan berlutut sambil menyerahkan sebatang buluh. Di antara mereka semua, Yesus Kristus duduk dengan pakaian dilucuti, tangan terikat, dan kepala dimahkotai duri. Ia akan menanggung sengsara hebat dalam selubung jubah ungu.

Itu gambaran yang disuguhkan oleh lukisan “Olok-olok terhadap Kristus” (Ing.: The Mocking of Christ) gubahan Edouard Manet (1832-1883), pelukis Perancis yang menjembatani aliran realisme dan impresionisme. Inovatif tapi tetap menghargai tradisi, Manet menjadi salah satu pelopor lukisan Barat moderen.1 “Olok-olok terhadap Kristus” adalah satu dari beberapa karya relijiusnya—pada masa orang Barat umumnya “masih” menjunjung kekristenan, berbeda jauh dengan yang kita dapati hari ini.

Kerelijiusan itu pun tampak dari cara Manet mengeropakan kekristenan dalam lukisan tersebut. Busana abad pertengahan si penyerah buluh dan kehadiran orang barbar (dinilai pengamat sebagai orang Perancis)2 mengungkapkan kerinduan untuk menjadikan kekristenan khas Eropa. Betapa eloknya jika kerinduan serupa dimiliki oleh orang Kristen dari berbagai bangsa sehingga karya seni ataupun pemikiran kristiani kita adalah khas bangsa kita!

Dasar lukisan Manet ialah kisah Alkitab di Matius 27:27-31, ketika Kristus “didandani” dengan jubah ungu, mahkota duri, dan sebatang buluh oleh serdadu-serdadu Gubernur Pilatus. Semua benda itu dimaksudkan untuk mengolok-olok Dia yang telah disambut penduduk Yerusalem sebagai raja-mesias dan yang karenanya diadili dengan tuduhan palsu hendak memberontak terhadap pemerintah penjajah Romawi.

Jubah ungu adalah pakaian keagungan yang biasa dikenakan para pembesar.3 Mahkota duri melambangkan mahkota raja dan buluh (batang kayu panjang seperti bambu)4 melambangkan tongkat raja—semua secara olok-olok. Para serdadu mengucapkan ejekan “salam, hai raja orang Yahudi”5 kepada-Nya. Mereka meludahi-Nya lalu memukulkan buluh itu ke kepala-Nya. Dalam selubung jubah ungu Ia disengsarakan.

Pastinya dahsyat sengsara Kristus, karena olok-olok berupa tindakan dan perkataan itu menyakiti fisik sekaligus batin-Nya. Padahal Ia memang raja, hanya saja kerajaan-Nya datang kelak di akhir zaman. Ketika pertama datang ke bumi, Ia datang sebagai hamba Allah yang menderita untuk “membenarkan banyak orang … dan kejahatan mereka dia pikul” (Yes. 53:11). Manet dengan jeli menangkap aura kehambaan Kristus itu dalam lukisannya.

Ia menggunakan seorang pekerja (kasar) biasa sebagai model untuk melukis Kristus: lututnya menonjol, kakinya besar, tubuhnya kurus. Akibatnya, ia dikritik orang-orang yang ingin Kristus ditampilkan menurut keagungan-Nya sebagai raja-mesias.6 Tapi Manet sesungguhnya menjabarkan nubuat Alkitab bahwa keadaan Kristus yang sengsara dalam selubung jubah ungu adalah sedemikian rupa sehingga “semaraknya pun tidak ada” (Yes. 53:2).

Kristus memang raja tapi, seperti dikatakan-Nya sendiri, Ia “harus menderita … untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya” (Luk. 24:26). Keharusan-Nya menderita adalah untuk memikul kejahatan manusia berdosa—masalah besar yang merenggut damai sejahtera di dunia milik Allah. Kristus rela diolok-olok, diselubungi jubah ungu dan dipukul buluh, untuk menggantikan manusia menanggung hukuman atas dosa.

Kita yang percaya bahwa Dialah sang pemikul hukuman dibenarkan Allah dan dijadikan warga kerajaan-Nya. Lalu kita ditugasi bersaksi tentang Kristus dan kerajaan damai sejahtera yang akan datang itu dengan perkataan dan perbuatan baik yang menanggulangi dampak-dampak dosa di berbagai bidang kehidupan. Selaku pengikut Kristus, kita pun terkadang harus menanggung sengsara akibat perlawanan antek-antek dosa terhadap perbuatan baik.

Toh dalam lukisannya Manet tetap menampilkan—secara lihai—keagungan Kristus yang disengsarakan. Alih-alih beringas dan garang, ketiga sosok di sekitar Kristus tampak tertegun di hadirat-Nya. Sikap berlutut si penyerah buluh terlihat penuh hormat dan si orang barbar memegang jubah ungu seakan-akan itu memang jubah keagungan, bukan jubah olok-olok.6 Manet menyingkapkan kepada mereka—dan kita yang menilik lukisannya—bahwa hamba yang menderita itu memang raja.

Kita pun tertegun ketika mengenang sengsara Kristus dalam selubung jubah ungu. Dan seperti penyamun yang tersalib di samping-Nya, kita berkata lirih, “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja” (Luk. 23:42).

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

Catatan

1 The Encyclopedia Americana, Volume 18, M to Mexico City. Connecticut: Grolier Incorporated, 1981, hal. 228.

2 Jim Lane. “Manet, the Bridge” dalam blog Art Now and Then. <http://art-now-and-then.blogspot.co.id/2013/03/manet-bridge.html>.

3 Misalnya para jenderal Romawi, para perwira terkemuka Romawi, dan para gubernur Romawi. Lihat bahasan untuk Matius 27:28 dalam Albert Barnes Notes on the Whole Bible di situs Study Light. <https://www.studylight.org/commentaries/bnb/matthew-27.html>.

4 “Buluh”ini tumbuh di rawa-rawa dan banyak ditemukan di tepi Sungai Yordan.Lihat bahasan untuk Matius 27:29 dalam Albert Barnes Notes on the Whole Bibledi situs Study Light. <https://www.studylight.org/commentaries/bnb/matthew-27.html>.

5 Demikian terjemahan Alkitab bahasa Indonesia (TB) dalam Matius 27:29. Di sini “salam” adalah ucapan salut atau penghormatan kepada raja (yang diucapkan para serdadu secara olok-olok kepada Kristus).

6 Jim Lane, “Manet, the Bridge”.

7 “Analysis: Manet’s The Mocking of Christ” dalam situs Art Institute Chicago. <http://www.artic.edu/aic/resources/resource/350>.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *