Didamaikan untuk Mendamaikan

Oleh Victor Samuel

Hubungan yang retak dengan sesama membuat hidup sulit dinikmati karena diganggu oleh ketakutan, kebencian, kekesalan, dll. Pada umumnya kita akan merasa susah jika harus berhadapan dengan orang yang berseteru dengan kita. Hanya jika perdamaian terjadi, jika hubungan kembali dipulihkan, barulah kita merasa lega dan leluasa menjalani hidup. Jika berseteru dengan manusia saja membuat kita susah hati, bayangkan betapa sulitnya hidup jika kita berseteru dengan Allah yang Mahakuasa!

Kabar buruknya adalah manusia berdosa pasti berseteru dengan Allah karena melanggar perintah-perintah-Nya. Namun, kabar baiknya adalah “Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka” (2 Kor. 5:19a). Umat Kristen, penerima karya pendamaian Allah, seharusnya membalas perbuatan baik Allah itu dengan berbuat baik juga: mendamaikan manusia dengan Allah, sesama, dan alam. Kita didamaikan untuk mendamaikan.

Demi menggenapi karya pendamaian Allah, Yesus Kristus lahir di dunia pada hari Natal yang pertama. Dia yang tidak mengenal dosa harus menanggung dosa dan pelanggaran manusia terhadap Allah, supaya dalam Dia manusia dapat dibenarkan dan didamaikan dengan Allah (2 Kor. 5:21) tanpa diperhitungkan pelanggarannya. Inilah kabar baik!

Hidup yang telah didamaikan itu diniatkan Kristus untuk mendamaikan pula lewat perbuatan baik. Alkitab mencatat bahwa Ia “menyerahkan diri-Nya bagi kita untuk membebaskan kita dari segala kejahatan dan untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat, kepunyaan-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik” (Tit. 2:14). Jadi, orang-orang yang menerima karya pendamaian Allah dikhususkan Kristus menjadi umat dengan sebuah ciri khas: “rajin berbuat baik.”

Perbuatan baik tentunya tidak terbatas pada kegiatan gerejawi atau yang bermotivasi pengabaran Injil secara verbal semata. Perbuatan baik kita harus dijabarkan di berbagai bidang kehidupan dalam upaya pemulihan hubungan dengan Allah, sesama manusia, dan alam, menurut panggilan dan talenta kita. Jadi, dengan perbuatan baiklah kita mendamaikan atau terlibat dalam karya pendamaian Allah.

Sayangnya, ada sebagian umat Kristen yang cenderung mementingkan iman dengan mengesampingkan perbuatan baik. Mereka tampaknya sukar melihat peran penting perbuatan baik sebagai buah karya pendamaian Allah. Kalaupun dipentingkan, perbuatan baik yang mereka anggap sahih hanyalah yang mendamaikan manusia dengan Allah (dalam bentuk pelayanan gerejawi atau pengabaran Injil). Dengan demikian, mereka menunjukkan bahwa mereka hanya siap bagi sorga namun kurang siap bagi bumi.1

Mimbar-mimbar gereja seharusnya lebih banyak lagi menekankan pentingnya orang Kristen menjadi agen pendamaian melalui perbuatan baik. Karena karya pendamaian melibatkan hubungan manusia-Allah, manusia-sesama, dan manusia-alam, penekanan itu harus nyata bagi semua profesi: rohaniwan berbuat baik dengan berkhotbah, insinyur berbuat baik dengan merancang sistem yang ramah lingkungan, pengacara berbuat baik dengan memperjuangkan hak asasi manusia, dll.

Yap Thiam Hiem (1913-1989) adalah contoh yang terakhir itu. Sebagai seorang Kristen yang taat, ia rajin berbuat baik di meja hijau dengan memperjuangkan hak-hak orang yang lemah, miskin, tertindas. Ia pernah berkata, “Jika Saudara hendak menang perkara, jangan pilih saya sebagai pengacara Anda, karena kita pasti akan kalah. Tapi, jika Saudara merasa cukup dan puas mengemukakan kebenaran Saudara, saya mau menjadi pembela Saudara.”2

 “Rajin berbuat baik” dalam upaya pendamaian memang tidak mudah. Ada pihak-pihak yang mungkin terganggu dan melawan jika kita berusaha “mengemukakan kebenaran”. Belum lagi kita dihadapkan kepada tantangan-tantangan berupa keengganan melawan arus, perasaan ingin menyerah, godaan untuk kompromi, dsb. Bukanlah kebetulan tokoh-tokoh seperti Yap menjadi begitu langka.

Namun, karena telah menikmati kenikmatan dan keindahan hidup berdamai dengan Allah, kita perlu melampaui segala tantangan tersebut. Sebagai ungkapan syukur kepada Allah, kita perlu menjalarkan kenikmatan dan keindahan hidup itu ke seluruh dunia dengan rajin berbuat baik, seraya terus mengingat bahwa kita didamaikan untuk mendamaikan.

 

Victor Samuel adalah seorang insinyur di bidang energi yang bermukim di DKI Jakarta.

 

Catatan

1 Lihat Bab “Siap bagi Bumi” dalam Sam Tumanggor. Di Bumi Seperti di Sorga #2. Bandung: Penerbit Satu-satu, 2016, hal. 11-19.

2 ­M. Faisal. “Dari Yap Thiam Hien, Kita Belajar Arti Keadilan” dalam situs Tirto. <https://tirto.id/dari-yap-thiam-hien-kita-belajar-arti-keadilan-cJfw>.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *