Oleh S.P. Tumanggor
Cerita Natal adalah cerita idealisme. Yesus Kristus lahir di kandang Betlehem yang hina dina demi satu misi: mati berkorban untuk menyelamatkan dunia (maka Ia digelari “juruselamat”). Misi ini berkaitan dengan masalah dunia yang dibeberkan Alkitab: umat manusia telah berdosa sehingga terancam kebinasaan dan butuh jalan keselamatan. Allah, sebagaimana diungkapkan Alkitab, membuka jalan keselamatan itu melalui pribadi Kristus.
Di sinilah idealisme pijar dalam riwayat Kristus. Kalau kita berpijak pada alur kesaksian yang disodorkan Alkitab, kalau kita masuk ke dalam narasi yang dibangun Alkitab, kita berjumpa dengan jati diri Kristus sebagai Firman Allah yang menjelma.1 Demi misi menyelamatkan dunia lewat pengorbanan, Ia “tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.”2
Dengan kata lain, idealisme menyelamatkan dunia—yang dijiwai kasih sejati—mendorong Firman Allah, yang setara dengan Allah, merendahkan diri secara amat rendah dengan mengambil rupa manusia. Dan gambarannya berlanjut makin hebat: “Dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.”3 Natal, bisa kita simpulkan, menjuruskan Kristus kepada salib.
Untuk “taat sampai mati,” Kristus betul-betul berpaut pada idealisme. Maka ketika Ia, sebagai manusia tulen, gemetar di Taman Getsemani, di malam sebelum hari kematian-Nya, Ia berdoa kepada Allah, “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu daripada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.”4 Idealisme membawa-Nya kepada pilihan berat, namun idealisme juga membawa-Nya kepada sikap bersiteguh untuk tidak melenceng dari jalur misi.
Dan idealisme membawa-Nya kepada pilihan tepat, sebab kemudian Ia berdoa lagi, “Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!”5 Di atas kenyamanan dan kesukaan pribadi, demi keselamatan orang banyak dan demi kemuliaan yang tersedia di balik derita, idealisme-Nya menang. Seperti dinyatakan Alkitab, “Demi sukacita yang tersedia di hadapan-Nya,” Kristus “menanggung salib, mengabaikan kehinaan [salib].”6
Salib, ya, salib. Pernyataan “bahkan sampai mati di kayu salib” bertutur tentang idealisme yang kian memukau. Salib adalah cara mati, cara berkorban, sesuai dengan penetapan Allah, yang teramat mengerikan. Namun, ucapan “sudah selesai”7 di bibir Kristus yang tersalib menjadi seruan tuntasnya misi Natal. Idealisme pun meraih buahnya: kemuliaan di balik derita, sebab “setelah [Kristus] selesai mengadakan penyucian dosa, Ia duduk di sebelah kanan Yang Mahabesar, di tempat yang tinggi, jauh lebih tinggi daripada malaikat-malaikat.”8
Bagi umat Kristen, idealisme Kristus, yang mewujudkan cerita Natal, adalah penggerak idealisme untuk berkarya baik di berbagai bidang kehidupan: hukum, ekonomi, sosial, politik, seni, hankam, pertambangan, pertanian, peternakan, kelautan, dsb. Alkitab memaparkan, dan kita sendiri mengalami, bahwa bidang-bidang kehidupan itu tak luput dari kerusakan akibat keberdosaan manusia. Maka ke sanalah kita menghambur, seturut panggilan masing-masing, dipacu idealisme ala Kristus yang menghasratkan perubahan baik.
Idealisme ala Kristus mengajari kita mengenali masalah di bidang panggilan kita dan memampukan kita merendahkan diri, menampik kenyamanan yang mungkin bisa kita kenyam, demi menyelenggarakan perubahan di situ. Idealisme ala Kristus membantu kita menghitung bea pengorbanan yang harus ditunaikan dan memaukan kita membayar lunas harganya.
Dan idealisme ala Kristus tidak bertahan sehari dua hari, tapi bertekun mengarungi masa-masa boyak dan sarat tantangan. Di titik nadir, kala diperhadapkan kepada pilihan untuk menghindar atau mundur, idealisme ala Kristus berkomunikasi karib dengan Allah dan berujar, “Jadilah kehendak-Mu.”
Dengan idealisme itu, dan dengan rahmat Allah, kita berjuang gigih di bidang panggilan kita hingga meraih buah. Kita pun tahu bahwa hidup kita bermakna lantaran mengikhtiarkan hal baik yang menunjukkan kasih kepada Allah dan sesama—hal yang tepat berada di jantung Natal.
Cerita Natal adalah cerita idealisme. Kita menyimaknya dengan takjub lalu menerapkannya dalam misi hidup kita sampai kita bisa meninggalkan dunia dengan ucapan jaya seperti Junjungan kita, “Sudah selesai.”
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Yohanes 1:1-4, 14.
2 Filipi 2:7.
3 Filipi 2:8.
4 Matius 26:39. “Cawan” adalah lambang/kiasan untuk derita yang akan dihadapi Kristus.
5 Matius 26:42.
6 Ibrani 12:2 dalam Alkitab bahasa Inggris, New International Version (NIV). Pengalimatan NIV lebih jelas daripada pengalimatan Alkitab bahasa Indonesia, Terjemahan Baru.
7Yohanes 19:30.
8 Ibrani 1:3.