Oleh S.P. Tumanggor
Tumbuh besar di Jawa Barat membuat saya yang lahir di Sumatera Selatan jadi mampu bercakap dalam bahasa Sunda. Tapi bukan cuma jadi mampu, saya juga jadi mengapresiasi bahasa kedua saya ini karena segala kekayaannya. Yang paling berjasa dalam menimbulkan apresiasi itu bukanlah teman-teman sepermainan yang asli Sunda (yang pertama-tama “mengajari” saya bahasa Sunda), tapi justru pelajaran bahasa daerah di sekolah.
Ya, bagi banyak anak non-Sunda seperti saya (dan mungkin juga bagi sebagian anak Sunda perkotaan), pelajaran bahasa daerah bisa tampak bagai momok. Tapi saya, yang memang penyuka bahasa, merasa asyik mengikutinya. Dan pada bulan Sumpah Pemuda ini—bulan yang patut dipenuhi apresiasi terhadap keindonesiaan (artinya, termasuk kesundaan)—saya mengingat beberapa hal menakjubkan dari bahasa Sunda.
Saya ingat menghafal nama-nama kembang dan anak binatang—bukan pekerjaan mudah bagi anak kota yang sudah tidak begitu akrab dengan banyak tumbuhan dan binatang. Entah bahasa apa lagi di Indonesia yang punya istilah untuk hal-hal itu, tapi yang jelas bahasa Sunda punya. Sebagai segelintir contoh, kembang bawang, durian, kemiri, dan talas masing-masing dinamai ulated, olohok, rinduy, dan ancal. Anak anjing, buaya, kutu, dan nyamuk masing-masing dinamai kirik, bocokok, kuar, dan utek-utek.
Selain itu, bahasa Sunda punya sederet nama untuk waktu (wanci) dalam sehari-semalam. Beberapa di antaranya adalah wanci haneut moyan (“waktu hangat berjemur”) untuk pukul 07.00-08.30, wanci pecat sawed (“waktu melepas sawed”)1 untuk pukul 10.00-an, wanci tunggang gunung (“waktu menunggang gunung”)2 untuk pukul 16.00-17.00, dan wanci sareureuh budak (“waktu istirahat anak”)3 untuk pukul 20.00-an.
Bagi saya, nama-nama orisinil itu menunjukkan kekayaan daya cipta manusia Sunda di masa silam dalam menggagas sebutan untuk segala sesuatu yang berkaitan dengan hidup mereka. Dalam kasus wanci, mereka bahkan menggagas sebagian sebutan berdasarkan pengamatan terhadap peristiwa (misalnya: melepas sawed dan anak beristirahat). Ini ilmu mahal bagi kita di kekinian untuk mahir dan kreatif pula menamai hal-hal baru (barang, teori, sistem, dll.) dengan bahasa sendiri.
Saya juga ingat menghafal kata-kata “ajaib” yang sukar diperikan maknanya. Kata-kata semacam itu tentu ada dalam berbagai bahasa, tapi bahasa Sunda sepertinya membawanya ke tingkat yang bukan main. Ambil contoh kecap panganteur (“kata pengantar”) yang “mengantar” suatu tindakan/kejadian: barakatak seuri (tertawa), jleng luncat (loncat), les leungit (hilang), orolo utah (muntah), dan terekel naek (naik).4 Semua kata pertama (barakatak, jleng, dst.) dalam kata-kata majemuk itu sulit, bahkan mungkin mustahil, diterjemahkan ke dalam bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia yang masih serumpun dengan bahasa Sunda.
Lalu ada pula kecap sesebutan kaayaan (“kata sebutan keadaan”) yang menerangkan sifat sesuatu: beureum (merah) euceuy, berureum burahay, pait (pahit) molelel, panas (panas) nereptep, poek (gelap) mongkleng, poek meredong, leutik (kecil) camperenik, dll.5 Semua kata kedua (euceuy, burahay, dst.) dalam kata-kata majemuk itu sulit diterjemahkan ke dalam bahasa lain atau, setidaknya, sulit dicari kata padanannya dalam bahasa lain.
Bagi saya, kata-kata “ajaib” itu menunjukkan kekayaan olah rasa manusia Sunda di masa lampau. Mereka mampu menyelami nuansa dari hal-hal yang tertangkap oleh pancaindera (nuansa warna merah atau kegelapan saja bisa mereka selami!) lalu mengungkapkannya dalam satu kata. Ini ilmu mahal bagi kita di kekinian untuk menyelami berbagai gelora rasa—khususnya tentang keadaan bangsa—lalu menuangkannya dalam tulisan yang membangun.
Dan masih ada lagi kekayaan bahasa Sunda yang tak sempat saya beberkan di sini karena keterbatasan ruang.6 Tapi kiranya contoh-contoh di atas, berikut hikmahnya, cukup menjelaskan mengapa saya takjub dan mengapresiasi bahasa Sunda. Kekayaan serupa pastinya dimiliki oleh bahasa-bahasa lain di Nusantara—dengan kekhasannya masing-masing.7 Maka wajiblah bangsa Indonesia, yang dipersatukan Sumpah Pemuda, menerapkan langkah-langkah kreatif dan strategis untuk melestarikan pusaka kaya itu bagi generasi berikut.
Ini akan sesuai dengan baris ketiga Sumpah Pemuda, yang sengaja memakai kata “menjunjung”—“menjunjung bahasa persatuan”—supaya bahasa-bahasa selain bahasa Indonesia dapat tetap mengalun merdu dan memamerkan kekayaannya di Nusantara.
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Berdasarkan waktu ketika petani biasa melepas sawed (tali kendali) kerbau penarik bajak.
2 Berdasarkan waktu ketika matahari sudah condong ke barat dan tampak di atas pegunungan seolah-olah menunggangi pegunungan itu.
3 Berdasarkan waktu ketika anak-anak kecil sudah lelah bermain dan pergi tidur.
4 Kata-kata ini luar biasa karena menangkap gerak dan bunyi dalam kata. Dalam bahasa Indonesia kata-kata yang sejenis adalah “hap (makan)” atau “byur (tercebur).” Kata “hap” dan “byur” di situ merupakan kecap panganteur. Tapi kata-kata ini tidak formal dalam bahasa Indonesia.
5 Kata-kata ini luar biasa karena menangkap nuansa rasa dalam kata. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang sejenis adalah “(hitam) legam” dan “(terang) benderang.” Kata “legam” dan “benderang” di situ merupakan kecap sesebutan kaayaan. Tapi bahasa Sunda tampaknya memiliki lebih banyak kata semacam ini dibanding bahasa Indonesia.
6 Misalnya kata-kata singkatan yang disebut kecap memet dan kirata atau permainan-permainan kata seperti paparikan, rarakitan, dan wawangsalan.
7 Sebagai contoh, bahasa Melayu/Indonesia memiliki kata-kata tiruan bunyi yang khas: debuk, dencing, deru, gelegar, gemertak, gemuruh, lerum, lesak, leting, dll.