Oleh Lasma Panjaitan
Memasuki bulan Desember, suasana ibadah di gereja-gereja mulai bernuansa Natal. Gedung-gedungnya semarak oleh dekorasi dan pernak-pernik Natal. Khotbah-khotbahnya memashurkan kasih Allah yang terungkap dalam kelahiran Yesus.
Ya, Natal memang tak dapat dilepaskan dari kasih Allah. Roma 5:8 menyatakan, “Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita ketika masih berdosa.” Kisah Natal adalah kisah “Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita” dengan cara mengutus Yesus Kristus ke dunia. Kristus, Firman yang mengambil rupa manusia, adalah perwujudan kasih Allah yang besar akan dunia.
Namun, seperti diungkap ayat tersebut, Natal bukan melulu tentang kasih Allah. Dalam peristiwa Natal, Allah juga menunjukkan keadilan-Nya terhadap dosa umat manusia. Dosa tetap harus dihukum, bukan dimaafkan begitu saja. Maka demi kasih dan keadilan, Yesus datang dan menanggung hukuman dosa dengan cara “mati untuk kita ketika kita masih berdosa.”
Melalui kelahiran dan kematian Yesus, Allah menyatakan bahwa kasih dan keadilan-Nya selaras berdampingan. Kelahiran Yesus membuktikan kasih Allah yang memberi kita jalan keluar dari hukuman. Kematian Yesus membuktikan keadilan Allah yang menuntut hukuman atas dosa.
Kita, umat Kristen, tidak boleh kehilangan pandang tentang keberdampingan kasih dan keadilan Allah. Namun, payahnya, itulah yang sering terjadi. Kita sering sulit memahami bahwa kasih Allah berdampingan selaras dengan keadilan Allah sehingga sulit pula untuk menerapkan kasih dan keadilan secara berimbang.
Kesulitan itu timbul karena kasih Allah mendapat lebih banyak porsi dalam tren umum ajaran Kristen. Memang cerita tentang kasih lebih enak didengar telinga dan lebih sedap untuk dipikirkan daripada cerita tentang keadilan. Mimbar gereja pun, khususnya pada masa Natal, cenderung menekankan soal kasih semata. Jarang sekali khotbah Natal memberitakan kelahiran dan pengorbanan Kristus sebagai karya keadilan Allah.
Berita kasih Allah yang tak diimbangi oleh berita keadilan Allah sangat bisa menyumbangkan penurunan mutu dan cara hidup umat Kristen. Atas nama kasih, gereja bisa enggan menegur atau membereskan kesalahan/dosa warganya. Alhasil terbangun mental membiarkan-perilaku-salah dengan dalih orang Kristen harus sabar dan harus suka mengampuni. Padahal keadilan Allah juga harus ditegakkan di tengah jemaat.
Ketika perilaku salah dibiarkan, kita bisa hidup serampangan. Tak heran kasus-kasus “sumbang” seperti perselingkuhan atau korupsi menggejala pula di tengah kita. Atas nama kasih, kita malah bisa menolerir dosa dan melunak terhadap penyakit masyarakat. Tak heran kita cenderung “diam” ketika muncul hal-hal yang tidak adil, melunturkan moral, atau membodohi di tengah masyarakat—berbeda dengan kelompok/umat lain yang kuat menyuarakan ketidaksukaannya. Kita pikir “ribut-ribut” seperti itu tidaklah menceminkan kasih.
Kegagalan kita memberitakan keberdampingan kasih dan keadilan Allah juga memicu olok-olok dari mereka yang antiagama atau antituhan. Mereka mempertanyakan bagaimana mungkin Allah yang mahakasih mengizinkan perang, penyakit, dan penderitaan di dunia. Mereka jadi menafikan keberadaan Allah.
Padahal semua itu terjadi karena watak berdosa masih melekat pada manusia. Watak berdosa membuat manusia selalu rentan untuk bermusuhan, bertikai, merusak alam, menyebabkan bencana. Dalam keadilan-Nya, Allah menunjukkan kepada manusia bahwa memang ada konsekuensi dosa dalam kehidupan manusia. Namun, tidak sampai di situ saja, Allah juga telah mengutus Kristus dalam peristiwa Natal untuk membereskan masalah dosa dan konsekuensinya (yang akan benar-benar disirnakan ketika Kristus datang kembali kelak).
Demikianlah Natal bukan melulu tentang kasih. Kehadiran Firman yang menjelma di antara kita merupakan cerita tentang kasih dan keadilan Allah yang selaras berdampingan. Biarlah di masa Natal ini kita rayakan dengan penuh sukacita fakta bahwa kedatangan Kristus menunjukkan Tuhan kita mahakasih dan mahaadil.
.
Lasma adalah seorang pegiat Lembaga Bantuan Hukum yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.
.